1. Pengertian
Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah
nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak.
nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
2. Larangan Nikah Mut’ah
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan, (HR Bukhari [4216] dan Muslim [1407]).
3. Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah. Rasululalh saw. bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang sampai hari kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni) upah maka janganlah ia mengambilnya kembali,”
4. Hukum Kawin Kontrak Menurut MUI
nikah mut’ah ini uharam hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan
5. Perkawinan Kontrak Fikih Islam
Perkawinan Islam adalah kontrak, bukan sakralmen. Meskipun telah pentingnya agama sebagai satu-satunya cara sanksi bagi individu untuk memiliki hubungan seksual yang sah dan melanjutkan keturunan perkawinan adalah perjanjian sipil, masuk ke dalam oleh dua individu atau mereka yang bertindak atas nama mereka.
kawin kontrak sebenarnya merupakan tradisi Kaum Syi’ah.
Hal ini dimungkinkan karena adanya salah penafsiran atau pemutarbalikan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w. oleh para mufassirin (ahli tafsir) Syi’ah. Mufassirin Syi’ah yang sangat terkenal dalam ‘membela’ dihalalkannya nikah mut’ah adalah Fathullah Al-Kasyani, sebagaimana ditulis dalam kitab Tafsir Manhaj, Dikatakan oleh beliau bahwa nikah mut’ah adalah keistimewaan yang diberikan kepada Rasulullah, dan barang siapa melakukan mut’ah sekali dalam hidupnya, maka ia akan menjadi ahli surga, dan orang yang mengingkari mut’ah dianggap kafir murtad.
Sedangkan Abu Ja’far Asth-Thusi dalam kitabnya At-Tahdzif menyatakan bahwa Abu Abdillah a.s. (Imam Syia’ah yang dianggap suci) memberikan pernyataan bahwa ‘kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karea mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya anita sewaan.’ Fathullah al-Kasyani menyatakan bahwa rukun nikah mut’ah adalah suami, isteri, mahar, pembatasan waktu (taukit) dan shighat ijab kabul. Sedangkan syaratnya adalah cukup dengan akad (transaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada saksi, terbebas dari beban nafkah, tanpa dibatasi jumlah wanita (boleh dengan seribu wanita sekalipun), tidak ada hak mewarisi, tidak diperlukan wali, tidak dibatasi waktu, wanita yang dimut’ah statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak (Risalah Dakwah Al-Hujjah No. 48 tahun IV Shafar 1423).
PROSES NIKAH MUT'AH
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah. Di antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”. [28
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah
nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak.
nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
2. Larangan Nikah Mut’ah
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan, (HR Bukhari [4216] dan Muslim [1407]).
3. Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah. Rasululalh saw. bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang sampai hari kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni) upah maka janganlah ia mengambilnya kembali,”
4. Hukum Kawin Kontrak Menurut MUI
nikah mut’ah ini uharam hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan
5. Perkawinan Kontrak Fikih Islam
Perkawinan Islam adalah kontrak, bukan sakralmen. Meskipun telah pentingnya agama sebagai satu-satunya cara sanksi bagi individu untuk memiliki hubungan seksual yang sah dan melanjutkan keturunan perkawinan adalah perjanjian sipil, masuk ke dalam oleh dua individu atau mereka yang bertindak atas nama mereka.
kawin kontrak sebenarnya merupakan tradisi Kaum Syi’ah.
Hal ini dimungkinkan karena adanya salah penafsiran atau pemutarbalikan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w. oleh para mufassirin (ahli tafsir) Syi’ah. Mufassirin Syi’ah yang sangat terkenal dalam ‘membela’ dihalalkannya nikah mut’ah adalah Fathullah Al-Kasyani, sebagaimana ditulis dalam kitab Tafsir Manhaj, Dikatakan oleh beliau bahwa nikah mut’ah adalah keistimewaan yang diberikan kepada Rasulullah, dan barang siapa melakukan mut’ah sekali dalam hidupnya, maka ia akan menjadi ahli surga, dan orang yang mengingkari mut’ah dianggap kafir murtad.
Sedangkan Abu Ja’far Asth-Thusi dalam kitabnya At-Tahdzif menyatakan bahwa Abu Abdillah a.s. (Imam Syia’ah yang dianggap suci) memberikan pernyataan bahwa ‘kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karea mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya anita sewaan.’ Fathullah al-Kasyani menyatakan bahwa rukun nikah mut’ah adalah suami, isteri, mahar, pembatasan waktu (taukit) dan shighat ijab kabul. Sedangkan syaratnya adalah cukup dengan akad (transaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada saksi, terbebas dari beban nafkah, tanpa dibatasi jumlah wanita (boleh dengan seribu wanita sekalipun), tidak ada hak mewarisi, tidak diperlukan wali, tidak dibatasi waktu, wanita yang dimut’ah statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak (Risalah Dakwah Al-Hujjah No. 48 tahun IV Shafar 1423).
PROSES NIKAH MUT'AH
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah. Di antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”. [28
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.